Saatnya Bayar Utang

Pada suatu malam, 21 tahun lalu, beberapa bekas kawan kuliah berbagai angkatan mengajak berjumpa. Tema utama pembicaraan kami adalah apa yang bisa dilakukan untuk membayar kembali uang kuliah kami dulu. Kami kuliah di universitas bersubsidi. Hingga sudah sepantasnya kami mengembalikan subsidi itu. Kesepakatan kami adalah membuat sebuah organisasi nirlaba yang memberi pembekalan nilai pada remaja. Karena remaja adalah pemilik masa depan bangsa ini. Gagah terasa, tapi tak mudah.

Kini ada begitu banyak berita di media massa yang menggambarkan remaja yang brutal, pembelanja nomor wahid, dan sebagian dari kita menamakan mereka generasi instan. Apakah remaja seburuk itu? Pasti tidak. Seorang kawan di masa lalu pernah membandingkan seorang anak yang lahir dari keluarga grass root dan dari keluarga kelas menengah. Sebut saja si Otong dan si Andi. Dalam proses ‘pembuatannya’, orangtua Otong melakukan dengan tergesa. Di ruang sempit, ketika anak- anaknya yang lain sudah tertidur di lantai semen. Sebaliknya, orangtua Andi melakukannya dengan romantis, mungkin diawali dengan makan malam berhiaskan sebatang lilin wangi. Dilakukan perlahan, lembut, dan penuh cinta.

Ketika Otong lahir, orangtuanya sibuk berkutat dengan uang lecek sambil harap-harap cemas apakah cukup untuk makan hari ini. Bahkan mereka memberi nama Otong ketika si jabang bayi baru lahir. Mereka mendidik anak-anaknya sesuai mood saat itu. Untuk sebuah kesalahan yang sama, si Otong bisa dibiarkan, bisa juga dimaki habis-habisan. Di tengah himpitan kondisi keuangan menjelang nol, mereka tak punya waktu untuk menurunkan nilai. Hidup adalah perkara bertahan hidup.

Sebaliknya, ketika Andi lahir, nama sudah disiapkan berbulan sebelumnya. Nama yang mengandung doa dan harapan. Orangtuanya sudah punya asuransi pendidikan, memberinya makanan terbaik, selalu sempat berdiskusi soal nilai, dan mengatur rencana masa depan.

Otong dibesarkan untuk hari ini, Andi dibesarkan untuk 20 tahun lagi.

Lebih banyak mana: Otong atau Andi? Sayangnya Otong. Nantinya Otong mungkin akan kawin dan menjadi orang tua. Kemungkinan besar ia akan terjebak dalam kemiskinan struktural. Dan mendidik anak- anaknya dengan cara serupa.

Percepatan jumlah Otong akan berlipat jauh lebih banyak dibanding Andi. Karena masyarakat grass root cenderung punya banyak anak. Sebaliknya, kelas menengah sangat berhitung. Kelas menengah hari ini rata-rata jumlah anaknya tak lebih dari dua. Sebagian lagi malah memutuskan hanya akan punya satu anak.

Kita hidup di negeri ini. Siapa pun yang berkuasa memimpin negara, Otong tetap ada di situ. Dalam jumlah banyak. Kemarin saya berpikir harus bayar utang karena kuliah di universitas bersubsidi. Kini saya tersadar, saya punya utang pada negeri karena hidup di sini.

Di tengah kesibukan yang keterlaluan, kesulitan yang menghimpit di tengah pandemi, apakah kita punya kesempatan untuk membantu Otong? Bisa ya, bisa tidak. Tapi yang jelas, kita harus punya waktu untuk anak-anak yang terdekat dengan kita. Mereka ada di rumah, ada di rumah tetangga, ada di perkampungan sebelah rumah, ada di sekitar rumah-rumah ibadah. Seorang kawan yang belum dikaruniai anak setelah menikah belasan tahun memutuskan membuat sekolah berkualitas. Sejumlah orang lain mendedikasikan waktunya untuk mengajar di rumah singgah. Sebagian lain mengalokasikan akhir pekannya untuk bicara dengan anak-anaknya di rumah.

Membayar utang tak perlu rumit. Kita hanya perlu hati dan komitmen. Mari kita bayar utang itu. Dengan cara kita. Menyalahkan negara, nyatanya tak menghasilkan apa-apa.

Selamat hari ini, kawan.

Foto: pexels.com

Leave a comment