Unspoken Word(s)

Alkisah tentang dua sahabat yang sudah berkawan terbilang tahun. Sebutlah namanya Tyas dan Gerry. Hingga pada suatu hari mereka memutuskan untuk berkomitmen dalam cinta. Perkawanan yang sudah begitu lama membuat mereka berdua sudah sampai ke titik nyaman sempurna. Tak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Wilayah pribadi menjadi sangat tipis.  

Perjalanan kehidupan percintaan mereka baik-baik saja. Sangat baik. Hingga pada suatu hari Tyas merasa tidak nyaman pada hidupnya. Ada kemarahan kecil yang menggigiti hati, ketidakpuasan berkala yang mengganggu pikirannya. Makin hari Tyas makin gelisah. Ada sesuatu yang salah, menurutnya, entah apa.

Gerry adalah pria baik dengan kehidupan normal. Baginya, hidup sudah sempurna. Ia memiliki pasangan hidup terbaik, karier stabil, kehidupan finansial di atas cukup. Tyas bekerja di perusahaan impiannya sejak kuliah, peningkatan karier tak pernah berhenti, memiliki semua yang diimpikan banyak orang. Semua baik-baik saja, nyaris sempurna.

Lalu apa yang membuat Tyas gelisah dan meyakini dirinya tidak puas pada hidupnya?

Barangkali kita sudah begitu dekatnya dengan sahabat atau pasangan, hingga tanpa perlu banyak cakap, ia/mereka sudah mengerti. Kita pun begitu adanya. Tapi nyatanya, sedekat apapun kita dengan sahabat atau pasangan, tetap ada hal yang tak terkatakan.  Bisa berupa hal kecil seperti ketidaksukaan kita pada respons pasangan, kebiasaan remeh yang sedikit demi sedikit mengganggu, dan lain sebagainya. Kita mengabaikan itu semua atas nama keharmonisan hubungan. Sebuah pengabaian yang menumpuk hingga terbilang tahun. Diam-diam, kita tidak menerimanya dengan kerelaan sempurna.

Unspoken word(s) serupa dengan rutinitas, secara perlahan akan ‘membunuh’ kita. Semakin tak terkatakan, ditambah dengan ketidakdrelaan, timbunan itu bak bom yang akan meledak sewaktu-waktu, entah kapan.  

Bom waktu itu sudah berdetak di hati dan kepala Tyas. Makin hari ia menyadari punya kekecewaan yang tanpa sadar diabaikan. Lagi-lagi, tidak ada yang salah dengan Gerry. Semua terlihat baik-baik saja.

Pada usianya yang ke 41 ketika itu, Tyas berusaha menemukenali ulang dirinya. Apa sih yang sesungguh-sungguhnya ingin ia kejar? Happiness, katanya. Tapi, apakah itu kebahagiaan? Semestinya, menurut ukuran normal, hidupnya bahagia. Nyatanya, setiap orang punya definisi bahagianya sendiri. Tyas memutuskan untuk melepas duri yang mengganggunya.

Kebahagiaan Tyas belum tentu satu definisi dengan kebahagiaan Gerry. Juga belum tentu sama dengan kebahagiaan kita. Hanya kita yang bisa merasakannya. Kebahagiaan adalah sebuah pencapaian yang bisa diraih setelah kita mengenali diri sendiri.

Salah satu cara untuk menggapai bahagia, bisa jadi dengan menghilangkan unspoken word(s). Hal itu bisa mengurangi kekecewaan. Paling tidak, orang terdekat kita tahu apa yang kita rasa dan pikirkan. Barangkali ia/mereka tidak paham, tapi paling tidak, kita mengatakannya.

Proses mengenali diri sendiri tampaknya tidak bisa dilakukan seorang diri. Perlu bantuan orang lain. Dan perlu dilakukan dengan segera.

Tyas pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri tali cinta dengan Gerry. Cinta yang sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun itu dikandaskan. Semuanya tersadarkan, ketika sudah terlambat.

This is a true story.

Selamat hari ini.

Foto: pexels.com

Leave a comment