Obrolan Pagi Sebelum Pukul 8

Seminggu 2-3 kali, biasanya saya memasukkan baju kotor ke laundry kiloan dekat rumah. Karena saya pemalas dan Ci Santi – pemilik gerai laundry – gemar jemput bola, maka laundry-an akan dijemput pagi-pagi.

Kamis kemarin, Ci Santi sudah klakson-klakson di depan rumah pada pukul 7 lewat dikit. Matanya tersenyum (meski bibirnya terkatup) melihat saya muncul dengan membawa tas IKEA besar berisi baju kotor. Plus bed cover, serta beberapa kostum manggung Juragan yang dicuci satuan.

Sambil memindahkan baju ke dalam keranjang cuci di bagasi SUV-nya, Ci Santi cerita tentang vaksin. Ia bisa vaksin karena datang langsung ke kelurahan. “Miss Persahabatan” ini (dia asli kenal semua orang lengkap dengan riwayat masing-masing) cerita, “saya dateng aja ke kelurahan. Bagi vaksin dong! Nama saya ada nggak? Ada, kan? Liat dong daftarnya”. Begitu saja. Ternyata daftar nama warga memang sudah ada, tinggal kita minta saja. Entah setelah berapa lama, akhirnya Ci Santi bisa vaksin. Sudah beres dia vaksin kedua.

Tak lama, datang Bu Vivi bersama ibu mertuanya, pulang dari jalan-jalan pagi, olahraga. Ngobrollah kami di depan rumah. Ci Santi mengajak Uma (nenek dalam Bahasa Mandarin) ke Pasar Pluit karena kualitas daging dan sayurnya paling bagus se-Jakarta-Tangerang-lah kira-kira. “Jangan ajak Uma! Nanti gue dimarahin laki gue. Terus Uma juga bisa dimarahin anak ceweknya. Laki gue pasti ngadu ke adiknya. Uma nggak boleh ke pasar. Uma kan rentan, ketemu banyak orang!” Panik Bu Vivi mencegah rencana itu terlaksana. Pantas sih dia panik, karena Ci Santi tipe alfa yang bisa menggugah orang untuk menjalankan gagasannya.

“Ini daun suji, ya?” Tanya Uma pada saya – berpaling dari pembicaraan soal pasar – sambil menunjuk satu pokok pohon di samping pohon mangga yang daun doang tanpa buah. Saya ketawa sambil mengedikkan bahu, “nggak tau deh. Mungkin, ya, haha”. Itulah pembuka obrolan Uma dengan saya. Ia bercerita tentang anak-anaknya yang sekolah sampai tinggi (saya nggak nanya sih setinggi apa), tentang cucu-cucunya yang hampir semua tinggal dengannya sampai usia sekolah. Khusus kepada cucu-cucu perempuannya, Uma bilang, “perempuan itu harus sekolah. Lihat itu Ii (tante dalam Bahasa Mandarin), semuanya kerja kantor. Karena sekolah tinggi dan pinter. Kamu juga harus sekolah tinggi dan pinter, biar nanti kerja kantor”.

“Kerja kantor” tampaknya penting sebagai penanda keberhasilan. Terutama buat perempuan, menurut Uma. Tampaknya Uma punya unfinished business. Ini tuduhan saya hanya berdasarkan ceritanya. Ia hanya sekolah sampai kelas 3 karena ayahnya tidak punya uang. Lalu dia cerita bahwa dia belajar macam-macam biar “nggak bodo”. Begitu menikah, tekadnya adalah menyekolahkan anak-anaknya sampai mana pun mereka mau. Satu-dua anaknya mendapat beasiswa. Dua cucu perempuannya kini juga dapat beasiswa, yang satu di Singapura dan yang satu di Taiwan. Matanya berbinar bangga dan bahagia ketika berkisah tentang cucu-cucunya.

Matahari makin terasa di depan rumah saya yang menghadap timur. Waktunya bubar. Ci Santi pamit duluan untuk buka toko, tak lama Bu Vivi dan Uma pamit karena sudah kepanasan. Saya balik badan masuk rumah membawa tas IKEA kosong untuk diisi baju kotor lagi nanti.

Hari itu, pagi belum lagi pukul delapan. Matur nuwun Gusti Allah sudah diparingi obrolan.

Foto: Jake Thacker/unsplash.com

2 thoughts on “Obrolan Pagi Sebelum Pukul 8”

  1. Terima kasih utk tulisannya yg adem, mbak..
    Saya kerja kantoran meskipun sekolah gk tinggi-tinggi amat.
    Tinggi saya sekarang 165cm.

    Like

Leave a comment